Press "Enter" to skip to content

Sejarah

Sejarah AJI Makassar

Setelah Dekalarasi pendirian AJI di Sirnagalih, Bogor, 7 Agustus 1994, AJI melakukan kongres pertama pada tahun 1996 di Cimanggis. Untuk membentuk kepengurusan di seluruh Indonesia, AJI mengundang beberapa perwakilan dari daerah.

Di Makassar, AJI mengundang Wahyudin Jalil, mahasiswa fakultas hukum Universitas Hasanuddin yang dikenal sebagai aktivis pers kampus. Sekembalinya dari kongres, Wahyudin pun mendapatkan mandat yang tertuang dalam surat keputusan sebagai koordinator AJI Indonesia Timur. Dengan membawa semangat AJI yang mendukung kebebasan pers, maka Wahyuddin yang merupakan penggiat Penerbitan Kampus (PK) Identitas Unhas, bersama sejumlah aktivis kampus membentuk unit kegiatan pers mahasiswa. Dimana produk pers waktu itu adalah catatan kaki dan tabloid aliansi yang diterbitkan dengan cara difoto kopi.

Untuk menyuarakan semangat kebebasan pers, para mahasiswa memanfaatkan tabloid aliansi untuk menulis pemikiran mereka. Termasuk sejumlah berita. Karena masih dalam era pemerintahan presiden Soeharto (Pra Reformasi), tabloid Aliansi ini menjadi gerakan bawah tanah. Karena disebar secara sembunyi-sembunyi. Mahasiswa yang terlibat dalam gerakan bawah tanah ini antara lain Akbar Endra, Ano Suparno, Anwar, dan Muannas.

Kenapa semangat AJI lebih banyak dijalankan oleh pers kampus ? Karena pada waktu itu, menurut Wahyuddin Jalil, pekerja pers khususnya yang ada dif ajar grup sebagai salah satu media besar di Makassar, masih banyak yang memandang sinis terhadap gerakan AJI. “Kemungkinan karena Fajar saat itu dikuasai oleh PWI,” kata Wahyuddin.

Karena berhasil menyelesaikan kuliah di fakultas hukum, Wahyuddin pun hijrah ke Jakarta. Sehingga selama dua tahun memegang mandat, AJI Makassar secara kelembagaan belum terbentuk dengan resmi. Begitupula dengan anggotanya tidak ada yang tercatat secara resmi. “Maklum masih jaman orde baru, jadi orang agak takut,” kata Wahyuddin.

Pada tahun 1998, Wahyuddin mendengar jika, ketua AJI Indonesia yang dijabat Santoso sering melakukan komunikasi dengan wartawan fajar Sukriansyah S Latief. Hubungan mereka sangat intens karena sama-sama mengerjakan proyek ISAI.

“Akhirnya Sukriansyah yang mewujudkan berdirinya AJI Makassar pada awal tahun 1998,” kata Wahyuddin.

Sukriansyah S Latief sebagai ketua AJI Makassar pertama mengatakan, keinginan sebagian Jurnalis Makassar mendirikan AJI Kota karena saat itu PWI sebagai satu satunya organisasi wartawan tidak bisa berbuat banyak terhadap pembredelan dan tekanan terhadap wartawan dan media. “Karena PWI sangat dekat dengan pemerintah,” kata Sukriansyah.

Dia mengatakan, setelah terbentuk, bukan berarti AJI Makassar bisa bergerak dengan leluasa. Tapi setelah pemerintahan Soeharto tumbang, AJI Makassar akhirnya berani muncul dan menyuarakan kebebasan pers secara terang terangan. “Poin yang selalu diperjuangkan adalah kebebasan pers, mengangkat harkat dan martabat wartawan, dan terakhir kesejahtraan warrtwan. Perjuangan ini tidak pernah selesai dan harus terus diperjuangkan,” kata Sukriansyah.

Hingga kini, AJI Makassar sudah menggelar konferensi kota (Konferta) selama delapan kali. Itu berarti organisasi ini juga sudah melakukan alih generasi selama delapan kali juga. Kepengurusan AJI Makassar yang pertama dipimpin Sukriansyah S Latief, jurnalis senior Harian Fajar Makassar. Setelah Sukriansyah, kepengurusan AJI berikutnya dilanjutkan jurnalis Kompas, Nasru Alam Aziz. Alam lalu menyerahkan stafet kepengurusan kepada Abdul Haerah, jurnalis detik.com. Periode berikutnya AJI dipimpin Muannas, jurnalis Tempo lalu digantikan Syarif Amir, jurnalis Tribun Timur.

Setelah Syarif, kepengurusan AJI berikutnya diambil alih Andi Fadli, jurnalis Trans TV. Fadli lalu digantikan Mardiana Rusli, jurnalis AN TV. Mardiana merupakan jurnalis perempuan pertama yang pernah memimpin AJI Makassar. Setelah Mardiana, kepengurusan AJI dilanjutkan Gunawan Mahsar. Kemudian dipimpin Qodriansyah Agam Sofyan lalu Nurdin Amir.

AJI Makassar juga mengalami diaspora kecil-kecilan. Sejumlah jurnalis terpaksa mengundurkan diri dari keanggotaan AJI karena mendapat tugas di tempat lain. Mereka yang mengundurkan diri antara lain dua mantan Ketua AJI, Syarif Amir dan Mardiana Rusli. Anggota lain yang mengundurkan diri adalah Rahma Saiyed. Syarif mundur karena terpilih menjadi Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Makassar. Begitu juga Mardiana dan Rahma. Mardiana terpilih sebagai komisioner KPU Sulawesi Selatan dan Rahma menjadi komisioner KPU Kota Makassar.

Selain di KPU, beberapa anggota AJI Makassar juga aktif di lembaga lain. Mereka antara lain Fauziah Erwin dan Andri Mardian. Keduanya menjadi komisioner di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Sulawesi Selatan. Berbeda dengan komisioner KPU, mereka yang menjadi komisioner KPI tidak perlu mundur karena ruang lingkup tugasnya masih berkaitan dengan dunia jurnalistik.

Lawan Kapolda Tolak Kriminalisasi Pers  

Salah satu peristiwa penting dalam perjalanan AJI Makassar adalah melawan Kapolda Sulselbar, Irjen (pol) Sisno Adiwinoto yang melakukan kriminalisasi pers terhadap jurnalis Upi Asmaradana, 2009. Kasus ini bermula dari perbedaan pendapat soal penggunaan Undang Undang Pers dalam kasus sengketa pemberitaan pers. Jenderal Sisno berpendapat masyarakat yang merasa dirugikan berita pers bisa langsung mengadukan wartawan ke polisi untuk dikenai pasal pidana (KUHP). Atas pendapat itu, Upi menganggapnya sebagai anjuran bahkan ancaman terhadap kebebasan pers yang sudah diatur dan dilindungi UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Lalu Upi dan komunitas pers yang merasa terancam pun kemudian mengadukan mantan Kapolda Sulselbar ke Mabes Polri, Dewan Pers dan Kompolnas di Jakarta.

Dan surat pengaduan ke lembaga-lembaga itulah yang kemudian dijadikan dasar bagi Jenderal Sisno Adiwinoto mengadukan Upi Asmaradhana, baik  secara pidana maupun perdata.

Sejak kasus pidana pencemaran nama baik terhadap Jenderal Sisno bergulir ke pengadilan, AJI bersama komunitas pers memberikan komitmen untuk menjalani proses persidangan Upi sebagai proses pembelajaran pihak pers dan pihak kepolisian. Langkah ini ditempuh AJI bukannya tanpa risiko. Sebagai organisasi yang gigih menentang penggunaan pasal-pasal pencemaran nama baik dan pasal penghinaan dalam kasus sengketa pemberitaaan pers, AJI ingin menunjukkan komitmennya bahwa semua warga negara berkedudukan sama di depan hukum (equal before the law).

Dalam kasus Upi, Pengadilan harus membuktikan apakah benar Upi Asmaradhana dalam kapasitasnya sebagai jurnalis atau warga negara melakukan pencemaran nama baik, memfitnah, dan menghina (mantan) kapolda Sulselbar? Proses pengadilan juga harus membuktikan apakah tindakan Upi mengadukan “ucapan bernada ancaman” Jenderal Sisno ke atasannya (Mabes Polri).

Dan jawabnya, sebagaimana putusan majelis hakim yang diketuai Parlas Nababan yang beranggotakan Kemal Tampubolon dan Mustari yakni:  “memvonis bebas Upi Asmaradana dalam kasus dugaan pencemaran nama baik, yang diadukan mantan Kapolda Sulselbar, Inspektur Jenderal Sisno Adiwinoto. Menurut Parlas, Upi tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan penghinaan, pencemaran nama baik dan fitnah terhadap Irjen Sisno Adiwinoto, sesuai pasal 310, 317 dan 207 KUHPidana. Sehingga Upi harus dibebaskan dari segala dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), yang sebelumnya menuntut dengan hukuman satu tahun penjara.

Dalam mengawal dan mengadvokasi kasus ini, kawan-kawan AJI Makassar bersama komunitas pro kebebasan pers dan berekspresi kerap turun ke jalan menyuarakan aspirasi mereka. Begitu juga ketika Upi menjalani sidang di pengadilan, teman-teman jurnalis hadir di pengadilan memberi support dan semangat.

Relawan Tsunami Aceh

Selain di bidang jurnalistik, AJI Kota Makassar juga cukup care terhadap isu-isu kemanusiaan. Saat terjadi gempa tsunami di Aceh, 2004 silam, sejumlah relawan AJI Makassar juga terlibat dalam penanganan korban bencana. Ketua AJI Makassar periode 2004-2005, Muannas mengungkapkan relawan AJI bergabung dengan relawan Celebes diberangkatkan langsung dari Makassar ke Aceh. Tugasnya ikut serta membantu meringankan beban penderitaan korban dan keluarga korban tsunami Aceh.

Selain menyerahkan bantuan ala kadarnya, relawan AJI juga berhasil membawa pulang ke kampung halamannya lima mahasiswa asal Aceh. Mereka adalah Tarmiji, Salahuddin, Muzakir, Murzakir, Erwin Fitra. Muannas mengatakan pengiriman relawan ke Aceh ini menunjukkan bahwa jurnalis tidak hanya peka dengan komunitasnya sendiri, tetapi juga sensitif dengan persoalan-persoalan sosial kemasyakaratan.

Pelaksana Debat Cagub

AJI Makassar juga cukup piawai dalam mengorganisasi kegiatan politik penting. Salah satunya pelaksanaan debat pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur Sulsel, 2007 lalu. Kontestan pilgub saat itu adalah pasangan Amin Syam-Mansyur Ramli, pasangan Abdul Aziz Qahhar Mudzakkar-Mubyl Handaling, dan pasangan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang.

Ketua AJI Makassar periode 2009-2010, Andi Fadli menceritakan pelaksanaan debat ini berawal dari ajakan KPU Sulawesi Selatan yang menawarkan AJI mengelola pelaksanaan debat calon gubernur. Pertimbangannya, AJI dianggap netral dan tidak berpihak pada salah satu kandidat. Jadilah debat pertama pilgub di Sulsel yang digelar di Panakkukang Mas Country Club (PMCC) itu diselenggarakan AJI Makassar, dengan ketua panitia Gunawan Mashar.

AJI yang mengatur teknis acara termasuk pembicara, panelis, dan moderator yang dilibatkan dalam debat tersebut. Hasilnya memuaskan. Debat berlangsung aman dan lancar. AJI pun mendapatkan penghargaan dan apresiasi dari KPU dan masyarakat umum.

Tim Penyusun M Yunus dan Fahruddin Palapa, Editing oleh Gunawan Mashar